Apakah sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempunyai simpanan yang bisa dibeli untuk proteksi asuransi? Jika pun ada kelebihan konsumsi, uang berlebihnya lebih banyak disimpan di bank. Lalu bagaimana dengan warga miskin yang tidak punya uang berlebih? Apakah produk asuransi menjadi barang mewah bagi saudara kita yang secara finansial masih berada di bawah garis kemiskinan?
Sigma World Insurance in 2010 melaporkan bahwa Indonesia tergolong negara yang terpuruk dalam upaya pelindungan atau proteksi terhadap jiwa manusia. Ukurannya adalah Insurance Density dan Insurance Penetration. Negeri dengan penduduk lebih dari 240 juta ini menempati peringkat ke-11 dari 27 negara di Asia. Posisi tersebut berdasarkan total premi Indonesia pada tahun 2010 sebesar 10,7 Milyar Dollar. Premi tersebut mencakup asuransi jiwa dan asuransi umum. Jumlah premi tersebut sebenarnya meningkat 28,91 persen dibandingkan tahun 2009.
Jawara Asia ditempati oleh Jepang. Indonesia kalah jauh dengan tiga negara ASEAN: Singapura, Thailand, dan Malaysia yang berada pada peringkat 7 sampai 9. Jika total premi tersebut dibagi dengan GDP- dikenal dengan insurance penetration- maka nilanya hanya 1,5 persen dari GDP. Untuk indikator tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-16. Jika total preminya dibagi dengan jumlah penduduk maka posisi Indonesia tambah melorot, yaitu pada posisi ke 22 di Asia dengan nilai premi per kapita sebesar 45.8 Dollar, atau sekitar Rp 400 Ribuan saja.
Sekarang mari kita lihat indikator untuk asuransi jiwa. Laporan yang dirilis Swiss Ree tersebut mencatat total premi asuransi jiwa di Indonesia sebesar 7.2 Milyar Dollar. Kecedenrungannnya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu meningkat sebesar 31.1%. Bolehlah kita tidak perlu berkecil hati karena Indonesia nongrong di peringkat ke sepuluh di Asia. Nilai insurance density- yaitu nilai premi asuransi jiwa dibagi jumlah penduduk – adalah sebesar 30,9 USD, atau hanya Rp 275 Ribu.
Indikator tersebut membuat kita miris.Apakah memang seluruh masyarakat Indonesia tidak bisa menyisakan uangnya untuk perlindungan dirinya dari segala risiko yang mengancam jiwa atau kesehatan dirinya? Setidaknya ada beberapa faktor penyebabnya.
Pertama, kondisi tersebut bisa saja dikarenakan fungsi dan peran asuransi kurang dikenal oleh sebagian besar orang Indonesia. Orang Indonesia lebih mengenal produk-produk perbankan dibanding jasa asuransi. Coba saja tanya kepada beberapa orang di dekat Anda. Apakah mereka mengenal apa itu asuransi berjangka, mutiguna, atau dana pensiun. Kurang dikenalnya fungsi dan peran asuransi menjadi pekerjaan rumah dari pelaku industry asuransi.
Kedua, orang Indonesia mungkin sudah mengenal asuransi, tapi belum merasa butuh atau perlu membeli asuransi. Sikap ini bisa saja dipengaruhi oleh persepsi bahwa asuransi itu adalah “bisnis janji”. Kita membeli produk asuransi tetapi manfaatnya baru dirasakan nanti. Bahkan bisa saja klaim asuransi tidak terjadi jika kita baik-baik saja, atau tidak mengalami musibah yang diproteksi oleh jasa asuransi. Faktor ini lebih banyak berhubungan dengan kesadaran atau tanggung jawab. Apalagi jika manfaat asuransi tersebut menjadi hak atau warisan dari anak atau keturunannya. Kepastian manfaat finansial bagi anak atau keluarga seharusnya bisa menjadi motivasi utama untuk membeli asuransi.
Ketiga, orang tidak membeli asuransi karena memang tidak punya uang untuk membelinya. Walaupun mereka tahu fungsi dan peranan asuransi, rasanya percuma saja karena ketidakberdayaan finansial membuat asuransi hanyalah mimpi. Jika kondisinya sudah begitu, apakah pemerintah harus lepas tangan dan membiarkan jiwa sebagian masyarakat Indonesia seolah tidak berharga sama sekali?
Berkenaan dengan faktor ketiga tersebut, pemerintah memang sudah melalukan berbagai upaya, di antaranya adalah jaminan kesehatan masyarakau bagi warga miskin, keberadaan asuransi sosial seperti jasa raharja, kewajiban perusahaan untuk mengasuransikan tenaga kerjanya melalui program jamsostek. Bahkan, UU Sistem Jaminan Sosial pun sudah diberlakukan sejak pemerintahan ibu Megawati pada tahun 2004. Namun, UU tersebut sepertinya belum ada gaungnya. Memang masih menunggu terbentuknya lembaga yang mempunyai kewenangan dalam mengelola dana untuk jaminan sosial, yang sampai saat ini masih diperdebatkan di legislatif.
Atau, kita mungkin pernah mengenal micro-insurance yang memang diperuntukan bagi masyarakat yang secara finansial masih kurang beruntung. Bisa saja, perusahaan asuransi menjual produk asuransi dengan nilai premi yang kecil, bahkan bisa ditarik per hari. Secara teoritis itu bisa saja diberlakukan. Kita lihat saja premi asuransi jiwa per kapita sebesar 275 ribu per orang. Itu berarti hanya menyediakan kurang dari 1000 rupiah per hari. Rasanya uang sebesar itu masih bisa disisihkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bukankah harga rokok atau gorengan saja lebih mahal dari itu?
Akhirnya, ini kembali ke kesadaran kita semua- baik pemerintah maupun masyarakat, termasuk juga peran para pelaku atau praktisi asuransi di Indonesia.
Jadi, masihkah Anda berpendapat bahwa asuransi itu hanya untuk orang kaya saja?
0 komentar:
Posting Komentar